Musim Semi di Jakarta

Tadi malam aku memiliki mimpi yang indah—tentang sebuah perjalanan musim semi di Jakarta. Ah, yang benar saja! Tidak ada istilah itu di Jakarta. Aku terbangun pukul dua dini hari, dan mendapati gorden kamarku menari-nari tertiup angin. Rupanya, ini musim gugur di Sydney.

Kau ingat saat kau membaca puisi pagi itu? Begitu menyentuh hati. Saat itu aku duduk di antara puluhan orang sebagai peserta seminar. Di gedung itu kita dipertemukan. Aku tidak ingat sesuatu yang lebih khusus, sebab kita belum mengenal satu sama lain.

Ada lagi kenangan lain yang tersisa lebih dramatis di ingatan. Saat kita menikmati akhir pekan bersama di Jakarta. Tepat sebulan setelah pertemuan pertama. Aku tidak ingat walau samar-samar warna langitnya seperti apa, tapi aku ingat jelas kau mengenakan kaos putih bertuliskan ‘Sayap Ilmu’—nama Taman Bacaan milikmu. Dunia Fantasi, Kota Tua, Perpustakaan Nasional, Pekan Raya Jakarta, dan Seribu Rasa adalah tempat-tempat yang kita tinggalkan jejak. Juga meninggalkan rasa yang tidak akan habis ditulis dalam seribu halaman.

Aku ingat betapa kau sangat suka jajan. Sedikit-sedikit ingin minum, ingin makan yang pedas, ingin makan yang manis. Berhenti di food stall adalah ritual wajib bagi kita.

“Jangan heran kalau perutku seperti ini,” katamu sambil tertawa.

Waktu begitu cepat berlalu. Memilikimu dua hari rasanya sungguh sekedip mata. Memang demikian. Aku harus pulang ke Sydney. Beberapa hari sebelum kepulanganku, kau mengirim selembar kain tenun ke alamat orang tuaku di Banten. Kenapa? Karena aku adalah orang baik, katamu. Kata-kata yang terlalu biasa untuk tindakan yang luar biasa.

Pada setiap detik kenangan yang tertinggal, sekelibat muncul ketidakpercayaan diri di diriku. Dan Rangga, hal itu sungguh membuatku merasa tidak pantas mengingat segala kenangan saat kita bersama sebulan yang lalu. Jadi, aku cukupkan sampai di sini.

Tinggalkan Balasan